- Home »
- Penyebab Tragedi Sukhoi di Gunung Salak.
Lembaga
Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) menyatakan saat Sukhoi
Superjet 100 menabrak tebing Gunung Salak tanggal 9 Mei pukul 14.33 WIB,
gunung tersebut sedang diliputi awan Cumulonimbus menjulang setinggi
37.000 kaki (11,1 km).
“Logika sederhananya, pilot akan mencari jalan keluar yang paling
aman. Namun menaikkan pesawat untuk mengatasi awan mungkin dianggap
terlalu tinggi, dari 10.000 kaki harus terbang melebihi 37.000 kaki.
Karena itu, pilihannya hanya mencari jalan ke kanan, kiri, atau bawah,”
kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan Thomas
Djamaluddin, ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Karena itu, ia menjelaskan, pilihan minta izin menurunkan pesawat ke
ketinggian 6.000 kaki mungkin didasarkan pada pertimbangan bahwa ada
sedikit celah yang terlihat di bawah, tetapi terlambat memperhitungkan
risiko yang lebih fatal dengan topografi yang bergunung-gunung.
Ia menguraikan, data MTSAT menunjukkan sekitar waktu kejadian, awan
di sekitar Gunung Salak memang tampak sangat rapat dengan liputan awan
lebih dari 70 persen.
Analisis indeks konveksi yang bisa menggambarkan ketinggian awan juga
menunjukkan indeks sekitar 30 yang bermakna adanya awan Cb
(Cumulonimbus) yang menjulang tinggi sampai sekitar 37.000 kaki (11,1
kilometer).
Data satelit itu, tambahnya, memberi gambaran bahwa saat kejadian,
pesawat dikepung awan tebal yang menjulang tinggi. Pada saat sebelum
jatuh itu, diinformasikan pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki (3
kilometer) ke 6.000 kaki (1,8 kilometer), padahal tinggi gunung Salak
sekitar 2,2 km.
Namun analisis ini, tegasnya, hanya berdasarkan data satelit cuaca,
sekadar untuk memberi jawaban sementara berdasarkan data, bukan
berdasarkan spekulasi yang tak berdasar.
“Analisis komprehensif tentang faktor lainnya tentu kita nantikan
dari analisis rekamanan penerbangan oleh Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT), walau tentu saja faktor cuaca tetap tak dapat
dikesampingkan,” kata Djamal.
Sementara itu, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT
Syamsul Bahri yang ditemui mengatakan, saat berada di dalam kepungan
awan seorang pilot memiliki risiko yang tinggi untuk tiba-tiba naik atau
tiba-tiba turun.
“Karena itulah, setiap pilot selalu menghindari awan untuk
menghindari risiko ini dengan terbang jauh di atas liputan awan. Namun
mungkin si pilot belum menguasai medan yang berat ini,” kata Kepala Biro
Perencanaan BPPT yang berpengalaman menerbangkan pesawat untuk layanan
modifikasi cuaca itu. (Antara/ea)
sumber : www.orb.web.id